Sebuah studi oleh UC San Francisco menunjukkan bahwa transgender wanita mungkin memiliki hasil PSA yang lebih rendah, menimbulkan risiko diagnosa kanker prostat yang tertunda. Penelitian ini menyerukan perlunya perhatian terhadap metode skrining kanker prostat yang lebih tepat bagi transgender wanita. Saat ini, belum ada rentang PSA spesifik untuk mereka, dengan penekanan pada risiko kanker yang tetap ada.
Studi terbaru yang dipimpin oleh UC San Francisco mengungkap bahwa transgender wanita yang menjalani terapi hormon cenderung memiliki hasil tes PSA (antigen spesifik prostat) yang lebih rendah secara signifikan. Temuan ini menunjukkan bahwa ambang batas “normal” saat ini mungkin tidak berlaku bagi transgender wanita, berisiko menghadapi diagnosis kanker prostat yang tertunda. Penelitian ini diterbitkan pada 26 Juni di JAMA, mengingatkan pentingnya pemantauan risiko kanker jangka panjang pada organ yang tetap ada setelah operasi afirmasi gender.
Peneliti menganalisis data dari Rekam Medis Administrasi Kesehatan Veteran antara Januari 2000 hingga Agustus 2023, melibatkan 210 pasien berusia 40 tahun ke atas yang menjalani terapi estrogen. PSA mereka ditemukan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pria cisgender, yang berarti tambahan skrining mungkin tidak dilakukan sampai tingkat PSA meningkat.
Saat ini, belum ada rentang PSA yang spesifik untuk transgender wanita, menandakan perlunya penelitian lebih lanjut untuk menggali manfaat skrining kanker prostat dan menetapkan praktik terbaik untuk mereka. Para peneliti menekankan bahwa dengan akses yang lebih baik terhadap perawatan afirmatif gender, penting untuk tidak mengabaikan risiko kanker dari organ yang masih ada.
“Pasien dan klinisi harus menyadari bahwa nilai PSA pada transgender wanita yang menjalani estrogen harus diinterpretasikan dengan hati-hati,” kata Dr. Farnoosh Nik-Ahd, penulis utama studi ini.
Dalam konteks kesehatan transgender, penting untuk memahami bahwa transgender wanita yang menggunakan estrogen memiliki risiko kanker prostat yang nyata, meskipun mereka mungkin tidak hadir dengan gejala awal. Test PSA, yang biasa digunakan untuk mendeteksi kanker prostat, tidak memberikan gambaran akurat bagi kelompok ini, sehingga dapat menyebabkan diagnosa yang terlambat.
Studi ini menyoroti perlunya perhatian lebih pada metode skrining kanker prostat bagi transgender wanita, terutama mereka yang menjalani terapi estrogen. Penting bagi pasien dan dokter untuk memahami bahwa hasil tes PSA bisa jadi tidak mencerminkan risiko kanker yang sebenarnya, dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan standar yang lebih sesuai bagi populasi ini.
Sumber Asli: www.ucsf.edu