Sebuah studi USC menemukan bahwa paparan PFAS dalam air minum dapat meningkatkan risiko kanker hingga 33%. PFAS terdapat di hampir setengah pasokan air minum di AS. Pada tahun 2029, EPA akan memberlakukan batas ketat pada enam jenis PFAS, sementara masyarakat disarankan menggunakan filter air yang tepat untuk mengurangi risiko. Pencemaran PFAS menimbulkan ancaman kesehatan yang serius di sejumlah wilayah.
Sebuah studi dari Sekolah Kedokteran Keck di Universitat California Selatan (USC) mengungkapkan bahwa paparan “kimia abadi” di air minum bisa meningkatkan risiko kanker hingga 33%. Kimia tersebut, dikenal sebagai substansi polifluoroalkil (PFAS), terdapat di hampir setengah pasokan air minum di AS. Penelitian menunjukkan bahwa PFAS terkait dengan berbagai jenis kanker, termasuk kanker ginjal, payudara, dan testis.
Para peneliti USC menemukan pola yang mencolok yaitu peningkatan kasus kanker di daerah dengan air terkontaminasi antara tahun 2016 dan 2021. Meskipun diperkirakan PFAS hanya menyumbang 0,4% dari seluruh kasus kanker, dampak jangka panjangnya tetap menjadi perhatian. EWG telah membuat peta untuk mengidentifikasi area yang terpengaruh.
Batas maksimum PFAS dalam air minum yang ditetapkan EPA adalah empat bagian per triliun, namun banyak daerah – termasuk New York dan California – melampaui batas ini. Kenaikan kasus kanker di wilayah-wilayah tersebut berkisar dari dua persen hingga 33 persen. Temuan yang mengkhawatirkan lainnya adalah hubungan antara PFBS, salah satu jenis PFAS, dan kanker mulut serta tenggorokan.
Zona dengan PFAS tinggi menunjukkan risiko kanker lebih besar, masing-masing untuk pria dan wanita. Limiting paparan PFAS sangat penting, karena senyawa tersebut bersifat persisten di lingkungan dan dalam tubuh manusia. Meskipun sistem air publik dapat mengobati air yang terkontaminasi, sumur pribadi masih menimbulkan tantangan bagi pengguna.
Untuk mengatasi masalah ini, pengguna disarankan untuk menggunakan filter khusus yang disertifikasi. Harga filter bervariasi dari Rp 675.000 untuk filter dasar hingga Rp 17.000.000 untuk sistem lanjutan. Selain itu, EPA merencanakan penegakan batas ketat pada enam jenis PFAS, dimulai pada 2029, sambil mendesak tindakan lebih lanjut untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Dr. Shiwen Li, peneliti utama dari studi ini, memperingatkan agar tindakan yang lebih ketat perlu dipertimbangkan. “Ketika orang mendengar bahwa PFAS terkait dengan kanker, sulit untuk mengetahui relevansinya,” katanya. Penemuan ini memberikan gambaran awal tentang hubungan kanker tertentu dan PFAS.
Studi ini mengungkapkan hubungan antara paparan PFAS, atau “kimia abadi”, dengan meningkatnya risiko kanker di kalangan penduduk AS. PFAS, yang sering digunakan dalam produk sehari-hari, telah terbukti terkait dengan sejumlah masalah kesehatan yang serius. Penelitian yang mendalam diperlukan untuk memahami dampak lingkungan dan wabah kanker yang ada sekarang akibat PFAS.
Paparan PFAS di air minum dapat meningkatkan risiko kanker secara signifikan. Sementara pengaturan yang lebih ketat sedang diberlakukan untuk mengelola PFAS, penting bagi masyarakat untuk proaktif dalam menangani potensi pencemaran. Kesadaran dan penggunaan filter air yang tepat dapat membantu mengurangi risiko paparan. Beberapa daerah masih melampaui batas aman PFAS, yang memerlukan perhatian lebih dari pihak berwenang.
Sumber Asli: www.earth.com