Terapi kanker payudara kini lebih mengutamakan de-eskalasi pengobatan untuk mengurangi efek samping. Pendekatan ini mencakup penghilangan kemoterapi di beberapa situasi, penggunaan genetik pemantauan respon, dan pengurangan laut pengobatan berdasarkan hasil tes. Pendekatan baru ini didasarkan pada kolaborasi multidisiplin antara berbagai spesialis.
Terapis kanker payudara kini berupaya untuk meredakan jumlah aplikasi pengobatan yang berpotensi beracun dengan menggandeng pendekatan multidisiplin. Ahli onkologi Azka Ali, MD, menekankan pentingnya kolaborasi dalam memutuskan de-eskalasi terapi, yang mencakup penentuan jenis radiasi, manajemen bedah aksila, dan pengobatan sistemik yang tepat.
Berdasarkan penelitian terbaru, ada beberapa situasi di mana terapi dapat diturunkan. Pertama, kemoterapi untuk kanker payudara reseptor hormon positif dan HER2 negatif dapat dipenuhi dengan tes genetik yang menunjukkan tak perlunya kemoterapi. Kedua, untuk kanker HER2 positif, regimensi kemoterapi berat kini bisa dihindari dengan penggunaan blok HER2 ganda, menggantikan kemoterapi berat yang berisiko efek jangka panjang.
Ketiga, strategi pemantauan respons melalui PET dalam penelitian PHERgain menunjukkan beberapa pasien HER2-positive dapat menghindari kemoterapi jika mereka bereaksi baik terhadap terapis translatif. Keempat, untuk kanker payudara metastatik stadium 4, satu agen kemoterapi sering kali sudah cukup efektif, meminimalkan risiko toksisitas. Terakhir, terapi endokrin bisa dipersingkat berdasarkan hasil tes yang menunjukkan manfaat terapi panjang.
De-eskalasi terapi kanker payudara merupakan pendekatan yang berpotensi mengurangi efek samping tanpa mengorbankan efektivitas pengobatan. Dengan strategi ini, dokter dapat mengurangi kemoterapi bagi pasien kanker tertentu, mengubah praktik lama yang cenderung lebih agresif, dan memfokuskan pada kolaborasi multidisiplin dalam penanganan pasien.
Sumber Asli: consultqd.clevelandclinic.org