Penelitian dari Sylvester Comprehensive Cancer Center menunjukkan bahwa meski pedoman skrining kanker paru-paru telah diperbarui untuk termasuk populasi lebih muda, kesenjangan tetap ada, terutama bagi mereka dengan akses terbatas ke layanan kesehatan. Baru 47% dari yang berisiko tinggi yang mendapatkan skrining setelah pembaruan pedoman, dengan faktor biaya dan perjalanan sebagai tantangan utama.
Sejak 2021, pedoman skrining kanker paru-paru yang memasukkan kelompok usia lebih muda dan riwayat merokok yang lebih rendah telah meningkatkan jumlah skrining, meskipun masih terdapat kesenjangan signifikan, terutama bagi mereka yang memiliki akses terbatas ke layanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Sylvester Comprehensive Cancer Center menunjukkan bahwa masalah ini perlu diatasi, terutama di populasi yang terabaikan.
Kanker paru-paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker di AS. Skrining melalui tomografi terkomputasi dosis rendah (CT) mampu mendeteksi kanker lebih awal, meningkatkan efektivitas pengobatan. Pedoman pertama dari U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) dibuat pada 2013 dan diperbarui pada 2021 untuk menyesuaikan usia dan riwayat merokok yang memenuhi syarat.
LaShae D. Rolle, peneliti utama, menemukan bahwa hanya 15,43% dari populasi berisiko tinggi yang telah melakukan skrining kanker paru-paru sebelum pedoman diperbarui. Setelah pembaruan, persentase ini meningkat menjadi 47,08%, tetapi masih di bawah 50%. Angka ini lebih rendah di kalangan pasien yang tidak memiliki asuransi atau penyedia layanan kesehatan primer.
Beberapa hambatan yang diidentifikasi mencakup kurangnya pengetahuan dan kebutuhan akan rujukan dari penyedia layanan kesehatan. Pasien yang tidak terjamin juga menghadapi biaya tinggi untuk skrining, meskipun banyak program menawarkan biaya rendah atau gratis.
Rolle menyoroti kesulitan bagi pasien dalam mengakses skrining, terutama di daerah pedesaan, yang dapat membuat perjalanan menjadi tantangan. Untuk mengatasi masalah ini, tim outreach di Sylvester melakukan kegiatan edukasi dan konsultasi di daerah berisiko tinggi dengan menggunakan bus khusus.
Kerjasama dengan organisasi komunitas lokal dan pemimpin setempat juga terbukti efektif dalam meningkatkan tingkat skrining di kalangan populasi minoritas. Menurut Gilberto Lopes, pendidikan yang disesuaikan secara budaya dan pendampingan dapat membantu mengatasi ketidakpercayaan dan ketakutan di antara pasien.
Rolle, yang merupakan penyintas kanker, berpendapat pentingnya skrining bagi semua orang demi deteksi dini kanker. Pengalaman pribadinya menjadikannya motivasi untuk mendorong lebih banyak orang untuk melakukan skrining.
Peningkatan skrining kanker paru-paru sejak pembaruan pedoman tidak serta merta mengurangi kesenjangan akses, terutama bagi kelompok kurang beruntung. Rendahnya tingkat pemahaman tentang ketersediaan skrining, faktor biaya, dan tantangan perjalanan menjadi penghalang utama. Namun, melalui berbagai inisiatif outreach dan pendidikan berbasis komunitas, diharapkan kesenjangan ini dapat diatasi dan lebih banyak orang memiliki akses ke skrining.
Sumber Asli: www.news-medical.net