Penelitian tentang teknologi fotografi 3D menunjukkan potensi untuk meningkatkan deteksi kanker kulit, tetapi membutuhkan lebih banyak penelitian untuk integrasi dalam pemantauan kanker. Studi menemukan lebih banyak lesi non-melanoma terdeteksi, tetapi tidak berdampak pada deteksi melanoma yang signifikan. Meskipun menjanjikan, implementasi teknologi 3D memerlukan pengujian lebih lanjut dan perluasan penggunaan AI.
Penggunaan teknologi fotografi 3D untuk meningkatkan deteksi awal melanoma kini semakin menarik perhatian di dunia medis. Dengan meningkatnya angka kanker kulit, diperlukan alat diagnostik yang lebih maju. Salah satu alat tersebut adalah 3D total body photography, yang menggunakan 92 kamera untuk memotret seluruh permukaan kulit. Teknologi ini berpotensi meningkatkan pencarian melanoma, khususnya pada populasi berisiko tinggi.
Sebuah studi dengan metode acak telah dilakukan untuk mengevaluasi manfaat dan kekurangan dari penambahan pencitraan 3D pada pemeriksaan kanker kulit konvensional. Dalam penelitian ini, 315 pasien berisiko tinggi dipantau selama dua tahun, dengan fokus pada efektivitas teknologi 3D dalam tele-dermatologi, yaitu di mana dermatolog meninjau gambar secara jarak jauh.
Pasien dari kelompok intervensi menjalani fotografi 3D di Brisbane yang menciptakan avatar digital dari permukaan kulit mereka. Lesi yang terdeteksi ditambahkan ke profil mereka dan ditinjau oleh dermatolog senior, yang merujuk lesi mencurigakan kepada dokter perawatan pasien untuk tindak lanjut. Tele-dermatologi menjadi penting dalam pemantauan pasien jarak jauh, sehingga perlu menguji kecocokan teknologi baru ini dalam model ini.
Hasil studi menunjukkan bahwa pengenalan pencitraan 3D sebagai tambahan dalam perawatan biasa memungkinkan akses pasien ke metode pemantauan kanker kulit yang tradisional. Menariknya, pasien yang menggunakan pencitraan 3D tercatat lebih banyak kasus kanker kulit non-melanoma. Peningkatan jumlah tersebut diperkirakan disebabkan oleh lebih banyak profesional kesehatan yang menganalisis gambar, sehingga lebih banyak lesi teridentifikasi.
Teknologi fotografi 3D membantu dokter dalam melacak tahi lalat baru atau perubahan ukuran dan warna dari waktu ke waktu. Tingginya angka kanker kulit keratinosit di populasi Australia, sebesar 69%, menunjukkan perlunya peningkatan pemantauan kanker kulit.
Namun, walaupun ada peningkatan jumlah eksisi, tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam jumlah melanoma antara kelompok intervensi dan kontrol. Hal ini berarti, meskipun ada kecemasan tentang overdiagnosis, tingkat pengangkatan yang benign terhadap malignant tetap konsisten. Pencitraan 3D tidak meningkatkan jumlah diagnosis yang salah, tetapi meningkatkan pemeriksaan menyeluruh.
Temuan studi menggambarkan bahwa meskipun 3D total body photography dapat membantu dalam mengidentifikasi lesi mencurigakan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami peranannya dalam jalur diagnosis. Diperlukan uji klinis yang lebih besar dan lebih lama serta penelitian pada populasi yang lebih beragam. Penelitian ini juga membuka peluang untuk eksplorasi peran kecerdasan buatan (AI) dalam pemantauan kanker kulit.
Meskipun studi ini memberikan wawasan berharga, ada keterbatasan, seperti ketidakadaan gambar 3D untuk pemantauan lanjutan oleh penyedia layanan kesehatan. Ini menunjukkan perlunya integrasi 3D total body photography langsung dalam perawatan reguler pasien untuk penilaian yang lebih efektif terhadap teknologi baru ini.
Secara keseluruhan, penggunaan teknologi fotografi 3D menunjukkan potensi signifikan dalam meningkatkan deteksi kanker kulit, terutama pada lesi mencurigakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan dalam identifikasi kanker kulit non-melanoma, tidak ada peningkatan dalam deteksi melanoma. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi dan mengintegrasikan teknologi ini ke dalam protokol pemantauan kanker kulit yang lebih standar di masa depan.
Sumber Asli: www.news-medical.net