Haruskah Pria Disaring untuk Kanker Prostat?

Ilustrasi kesehatan pria, dengan simbol PSA dan alat medis di latar belakang, nuansa biru dan hijau.

Kanker prostat mengancam satu dari delapan pria di AS, tetapi debat tentang skrining tetap berlanjut. PSA, tes utama, sering memberikan hasil tidak akurat, dan perawatan tidak selalu diperlukan. Diskusi dengan dokter akan membantu dalam pengambilan keputusan yang bijak terkait dengan situasi individual.

Menanya apakah mereka perlu disaring untuk kanker prostat bukanlah hal yang sederhana. Pengumuman Joe Biden pada 18 Mei bahwa dia didiagnosis kanker prostat tentu menambah sorotan pada kondisi ini. Di AS, kanker prostat memang menduduki peringkat kedua setelah kanker payudara dalam hal diagnosis. Statistik menunjukkan satu dari delapan pria kemungkinan akan terdiagnosis seumur hidupnya. Namun, risikonya tidak hanya tergantung usia, tetapi juga pada riwayat keluarga dan etnis. Kasus-kasus terkenal seperti yang dialami Sir Chris Hoy, yang terdiagnosis kanker agresif di usia 48, seharusnya menjadi pengingat pentingnya pemahaman lebih dalam tentang kondisi ini.

Debat di kalangan dokter tentang apa pentingnya melakukan skrining bagi pria paruh baya ini kembali mengemuka. Layanan kesehatan di Inggris, pasca pengumuman Hoy, menyatakan akan meninjau kembali panduan mereka terkait skrining yang saat ini tidak direkomendasikan. Menariknya, kantor Biden menyampaikan bahwa mantan presiden itu terakhir kali disaring pada tahun 2014. Meskipun suguhan statistik kanker prostat terbilang signifikan, masih banyak dokter yang mempertanyakan efektifitas pemantauan rutin.

Masalah utama terletak pada uji utama, yang mengukur kadar prostate-specific antigen (PSA) dalam darah. Uji ini dikenal tidak selalu akurat. Tingginya kadar PSA tidak hanya menandakan kanker, tapi juga bisa disebabkan oleh aktivitas fisik atau aktivitas seksual baru-baru ini. Angka positif palsu mencapai 75%. Adapun angka negatif palsu, di mana pasien sebenarnya mengidap kanker tetapi hasilnya negatif, diperkirakan sekitar 15%. Oleh karena itu, dokter seringkali melakukan biopsi untuk menegakkan diagnosis jika hasil PSA tinggi.

Dari 20% kasus yang terdiagnosis, membutuhkan perawatan agresif. Namun, pada umumnya tumor prostat tumbuh lambat, membuat pasien mungkin meninggal akibat komplikasi lain, bukan kanker itu sendiri. Para dokter berpendapat, pria berusia di atas 70 tahun sebaiknya tidak dilakukan skrining. Alasannya, risiko perawatan bisa menghasilkan efek samping yang parah seperti inkontinensia urine, masalah pada usus, dan impotensi. Ini sebabnya awam memiliki kekhawatiran yang mendalam soal kemungkinan over-diagnosis dan over-treatment.

Sebuah uji coba di Inggris menemukan bahwa 15 tahun angka kelangsungan hidup pria dengan kanker yang tidak menyebar lebih kurang sama, sekitar 97%, apapun metode perawatannya. “Watchful waiting” adalah pendekatan yang paling konservatif, meski banyak pasien merasa sulit untuk menghadapi kenyataan memiliki kanker, bahkan jika itu bukan ancaman jiwa, sehingga cenderung memilih pengobatan.

Semua ini menciptakan perbedaan pendapat di kalangan dokter dan pemerintah tentang pentingnya skrining rutin. Perdagangan antara manfaat dan risiko bisa berubah seiring perkembangan teknologi. Saat ini, beberapa pria dengan kadar PSA tinggi akan ditawarkan pemeriksaan MRI sebelum biopsi dilakukan. Beberapa ilmuwan berharap bahwa sekuensing genom dapat membantu menilai risiko pasien. Namun, sulitnya memperolehnya data jangka panjang mengenai hasil perawatan membuat survei antisipatif tak mudah, dan bagi pria paruh baya, saran terbaik adalah diskusikan ini dengan dokter Anda.

Kanker prostat merupakan ancaman serius dengan banyak faktor risiko, namun skrining yang rutin jadi bahan perdebatan. Uji PSA yang andal belum terbukti karena risiko positif palsu dan negatif palsu. Pengobatan pun tidak selalu diperlukan mengingat pertumbuhan tumor yang lambat bagi sebagian besar pria. Diskusi antara pasien dan dokter menjadi langkah bijak mengingat situasi ini cenderung kompleks dan penuh trade-off.

Sumber Asli: www.hindustantimes.com

About Samuel Miller

Samuel Miller is a veteran journalist with more than 20 years of experience in print and digital media. Having started his career as a news reporter in a small town, he rose to prominence covering national politics and economic developments. Samuel is known for his meticulous research and ability to present complex information in a reader-friendly manner. His dedication to the craft of journalism is matched only by his passion for ensuring accuracy and accountability in reporting.

View all posts by Samuel Miller →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *