Tim dari Institute of Cancer Research dan Queen Mary University mengembangkan teknologi berbasis biologi evolusi untuk memprediksi resistensi kanker usus terhadap kemoterapi. Mereka menemukan metode EIRAs untuk mengidentifikasi perubahan genetik atau non-genetik yang menyebabkan resistensi. Ini bertujuan untuk merancang obat baru yang lebih efektif dan melakukan penyesuaian pada pengobatan yang ada.
Para peneliti dari Institute of Cancer Research, London dan Queen Mary University of London baru saja mengembangkan teknologi baru yang memanfaatkan biologi evolusi untuk mengukur serta memprediksi cara sel kanker berevolusi setelah terpapar pengobatan baru. Penelitian ini sangat penting terkait dengan kanker usus, yang merupakan kanker keempat paling umum di Inggris, dengan sekitar 44,100 kasus baru setiap tahunnya.
Banyak pengobatan kanker usus yang menggunakan kemoterapi, yang faktanya belum berubah selama hampir 50 tahun. Pasien dengan penyakit tahap lanjut seringkali meninggal karena resistensi obat, dimana kanker berhenti merespons pengobatan. Ini disebabkan oleh perubahan molekuler dalam sel kanker, membuat pengobatan tidak efektif.
Dengan memahami bagaimana resistensi ini berkembang, peneliti berharap bisa merancang obat baru yang lebih baik dan menargetkan mekanisme resistensi tersebut. Hal ini juga akan membantu dokter dalam menggunakan obat yang ada dengan lebih optimal, serta melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Communications, tim mencatat sel kanker usus saat mereka mengalami resistensi terhadap kemoterapi. Mereka menggunakan pemodelan matematis untuk menentukan kapan resistensi terhadap obat mulai muncul, dan menemukan penyebabnya, apakah dari mutasi genetik langka atau perubahan non-genetik.
Metode ini, yang disebut EIRAs (Evolutionary Informed Resistance Assays), kini telah dikembangkan sebagai alat yang dapat diterapkan dalam proses pengembangan obat baru. Harapannya, EIRAs dapat membantu merancang obat yang dipersonalisasi untuk menargetkan jalur yang telah diambil tumor pasien untuk berevolusi menjadi resisten.
Tim peneliti juga sedang mencari mitra komersial untuk melanjutkan penelitian ini, sambil berkolaborasi dengan Pusat Penemuan Obat Kanker di ICR. Mereka telah mengajukan paten atas teknologi ini, yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan beberapa obat kanker, sudah mulai mengeksplorasi penggunaannya untuk kanker ovarium dan payudara.
Profesor Trevor Graham, seorang ahli dalam genomika dan evolusi di ICR, mengatakan bahwa sel kanker, mirip seperti bakteri, dapat berevolusi menjadi resisten terhadap kemoterapi. “Dengan mempelajari sel kanker usus seiring waktu saat kami mengobatinya, kami dapat mengembangkan teknologi pembelajaran mesin yang dapat mengurai bagaimana dan kapan sel ini menjadi resisten.”
Dari perspektif lain, Profesor Kristian Helin, CEO ICR, menyoroti bahwa pekerjaan ini akan membantu mengidentifikasi target baru untuk menangani kanker setelah resistensi berkembang. “Institut Penelitian Kanker memiliki rekam jejak yang tak tertandingi dalam penemuan obat, dan saya berharap bisa melihat kemajuan teknologi ini.”
Penelitian ini menunjukkan harapan baru dalam pengobatan kanker usus dengan memahami dan memprediksi bagaimana sel kanker mengembangkan resistensi terhadap pengobatan. Dengan teknologi EIRAs, peneliti bertujuan menciptakan obat yang lebih efektif dan personal, serta mengoptimalkan penggunaan obat yang sudah ada. Kerjasama antara investor dan institusi penelitian diharapkan dapat mempercepat penyembuhan bagi pasien kanker.
Sumber Asli: www.technologynetworks.com