Studi dari Universitas Michigan menunjukkan bahwa pengambilan sampel diri untuk skrining HPV sama efektifnya dengan pengujian berbasis spekulum. Metode ini bisa meningkatkan kenyamanan bagi perempuan, terutama yang memiliki disabilitas fisik. Penelitian mengindikasikan bahwa penerapan metode ini dapat memperbaiki tingkat skrining kanker serviks di AS dan mengurangi insidensi kanker serviks secara keseluruhan.
Infeksi human papillomavirus (HPV) adalah infeksi menular seksual paling umum di Amerika Serikat, yang dianggap menyebabkan lebih dari 99% kasus kanker serviks. Skrining HPV umumnya dilakukan melalui pemeriksaan berbasis spekulum, yang dapat menjadi pengalaman tidak nyaman bagi banyak pasien, terutama yang memiliki disabilitas fisik. Penelitian dari Universitas Michigan menunjukkan bahwa pengambilan sampel diri sama efektifnya dengan pengujian berbasis spekulum dalam mendeteksi HPV.
Dari hasil yang ditemukan, 4 dari 5 perempuan di usia 50 tahun diperkirakan pernah terinfeksi HPV dalam hidupnya. Kebanyakan infeksi ini hilang dalam waktu dua tahun, tetapi beberapa dapat bertahan dan meningkatkan risiko kanker serviks. Skrining kanker serviks dan pengujian HPV direkomendasikan setiap 3 hingga 5 tahun mulai umur 25 tahun. Menurut Dr. Diane Harper, “Pengujian co-testing untuk HPV dan kanker serviks tidak memberikan informasi yang berarti, karena kanker serviks dan prekursorannya dapat terdeteksi hanya dengan tes HPV.”
Proses pemeriksaan seringkali melelahkan secara fisik dan emosional. Menurut Dr. Harper, “Setengah dari perempuan di AS yang menderita kanker serviks tidak menjalani tes skrining dalam sepuluh tahun terakhir. Kita seharusnya membuat pengalaman ini lebih nyaman.” Beberapa negara, seperti Swedia dan Australia, yang mengadopsi skrining sendiri untuk HPV telah melihat penurunan insiden kanker serviks.
Penelitian melibatkan 193 peserta berusia 25 hingga 65 tahun yang menjalani skrining rutin atau berisiko kanker serviks. Sampel diambil menggunakan swab vagina dan diuji untuk 15 jenis HPV berisiko tinggi. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan swab vagina sama efektifnya dengan pengambilan sampel berbasis spekulum.
Kualitas pengalaman skrining menjadi sangat krusial, terutama bagi perempuan dengan disabilitas fisik, yang mengalami tantangan dalam pengujian berbasis spekulum. Dr. Susan Ernst menyatakan, “Perempuan dengan disabilitas fisik memiliki angka skrining kanker serviks yang lebih rendah karena berbagai hambatan, termasuk ketidakaksesibilitas fasilitas kesehatan.” Penelitian mendapati perempuan lebih memilih swab vagina yang dinilai lebih sederhana dan nyaman daripada ujian di kantor.
Dr. Harper menekankan bahwa, “Swab tidak dapat menggantikan obrolan dengan dokter.” Namun, ini bisa meminimalisir kebutuhan sebagian besar perempuan untuk melakukan uji berbasis spekulum. Penelitian ini diharapkan bisa mendorong penerimaan pengujian ini di klinik-klinik. Hasil dari kedua studi ini bisa membantu upaya edukasi dan promosi untuk semua orang, serta merupakan contoh kerja sama berbagai disiplin di Michigan Medicine.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengambilan sampel diri untuk skrining HPV merupakan alternatif yang efektif dan nyaman dibandingkan metode tradisional menggunakan spekulum. Hal ini penting untuk meningkatkan tingkat skrining, terutama bagi perempuan dengan disabilitas. Upaya untuk mengadopsi metode ini di klinik diharapkan dapat memperbaiki pengalaman skrining, mengurangi insiden kanker serviks, dan meningkatkan kesadaran akan kesehatan reproduksi.
Sumber Asli: www.news-medical.net